Loading Now

Dina Hidayana: Adopsi Budaya Sisu, Kongkritkan Swasembada Pangan Prabowo Subianto

Dina Hidayana: Adopsi Budaya Sisu, Kongkritkan Swasembada Pangan Prabowo Subianto

Pakar pertahanan dan pangan, Dina Hidayana, merespon positif gagasan strategis terkait rencana penguatan sektor pangan sebagai basis utama pertahanan negara yang disampaikan secara langsung oleh Presiden terpilih jelang pelantikannya, Prabowo Subianto, dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024 di JCC, Rabu (9/10).

“Sebuah negara tidak bisa mengklaim diri sebagai negara besar dan digdaya apabila masih menggantungkan sektor pangan sebagai fundamental pada negara atau bangsa lain. Selain itu, urusan pangan bukan sekedar menyoal kondisi hari ini, tapi menyangkut kualitas generasi masa depan, karenanya dimensi pangan ini sangat luas dan berdampak jangka panjang tidak bisa diperlakukan secara serampangan,” tegas Dina.

Dina Hidayana melihat pentingnya pelibatan multi aktor dalam mensintesa kompleksitas permasalahan sektor pangan dan pertanian Indonesia dari hulu ke hilir, khususnya dalam penguatan riset dan teknologi serta adaptasi transformasi yang terintegrasi. Lebih lanjut, Dina melihat budaya Sisu yang dimiliki Negara Finlandia yang memiliki kondisi iklim dan topografi relatif sulit, menarik untuk diadopsi sebagai pemantik inspirasi.

“Sisu bisa diartikan sebagai kombinasi tekad bulat, pendirian kuat, harga diri tinggi, kegigihan, semangat, ketekunan dan konsistensi dalam mengatasi hambatan atau kesulitan yang ekstrim atau tidak lazim. Bahkan perjuangan mencapai tujuan tetap difokuskan meskipun peluang keberhasilan mendekati nol,” ujar srikandi asal Solo ini.

“Finlandia masa itu melalui konsep Sisu, berhasil mendeklarasikan kemerdekaan di tahun 1917 dari cengkraman Rusia dan bahkan dikenal sebagai produsen telepon genggam Nokia yang sangat populer era 1990-an. Dikenal sebagai negara dengan pola pendidikan terbaik, dibuktikan dengan pertumbuhan masif inovasi dan teknologi hingga saat ini sekalipun populasinya terbatas,” lanjutnya lagi.

Berkat budaya Sisu, Finlandia berhasil mengembangkan peradabannya menjadi lebih maju dan mapan dibanding negara lain, termasuk dalam soal memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. Menurut World Happiness Report 2024, Finlandia dinobatkan sebagai negara paling bahagia dengan pendapatan per kapita tertinggi se-dunia.

Selain itu, Newsweek 2010 menempatkan Finlandia sebagai negara terbaik di dunia, juga posisi pertama dalam Indeks Manusia Dunia di tahun 2015. Finlandia saat ini juga merupakan salah satu negara terkuat bidang pertahanan keamanan di Uni Eropa dengan komposisi kekuatan seimbang antara jumlah personel militer dan persenjataan.

“Sisu di Finlandia, serupa dengan ppali-ppali di Korea Selatan, ganbaru di Jepang, sumud di Palestina, atau alon alon waton kelakon di Jawa (Indonesia) yang intinya berarti spirit kegigihan menembus peluang. Tanpa kegigihan atau kesungguhan maka potensi sebesar apapun tidak akan termanfaatkan dengan baik. Sisu mengkombinasikan kerja cerdas dan kerja keras yang melibatkan kekuatan fisik, otak dan juga psikologis dengan ritme yang konsisten,” papar Dina Hidayana.

Dina, yang juga Ketua Umum IKATANI ini mengingatkan jelang rezim orde baru berakhir di era 90-an, masa pergeseran agraris ke industri lambat laun menanggalkan fundamental sehingga mendegradasi kemampuan bangsa dalam mengoptimalkan sektor andalan yang seyogyanya diperlakukan sebagai prioritas.

“Maka retrospeksi atas fakta masa lalu, nampaknya menjadi komitmen Pemerintahan baru, presiden terpilih Prabowo Subianto, melalui tekadnya mewujudkan swasembada pangan dalam kurun waktu empat tahun ke depan, yakni maksimum di 2029,” sebut Dina.

Involusi atau kemunduran akut sektor pangan dan pertanian yang berlangsung selama beberapa dekade terakhir, ditunjukkan dengan semakin rendahnya minat generasi muda bergerak di sektor agraris.

“Indikasi lainnya adalah importasi pangan yang semakin tinggi serta masih mendominasinya kelompok masyarakat berkategori miskin bersumber dari profesi petani dan nelayan. Selain itu budaya pangan lokal telah bergeser pada selera asing, terutama di kalangan muda yang menampakkan rentannya political gastronomy kita,” lanjut politisi muda Partai Golkar ini.

Memastikan lahirnya patriot-patriot pangan yang keberadaan dan eksistensinya direkonstruksi oleh sistem yang terintegrasi, mutlak perlu dilakukan pemerintah yang akan datang. Dina menilai jangan sampai ambisi swasembada meminggirkan peran petani dan nelayan tradisional. Apalagi jika pemerintah membuka keran investasi pada korporasi untuk menggarap persoalan ini.

“Alih-alih swasembada, jangan sampai meminggirkan petani atau nelayan tradisional dan minat generasi muda akibat kebijakan kooptasi, semata-mata pro korporasi besar. Kesejahteraan rakyat, dalam hal ini petani dan nelayan adalah pilar utama kesuksesan swasembada yang dalam jangka panjang diartikan sebagai kedaulatan pangan,” tegas Dina.

Terakhir Dina Hidayana menekankan, berbagai kendala dan kemustahilan yang mungkin muncul dalam wacana penguatan sektor pangan dan pertanian perlu diterobos melalui ide-ide atau konseptual yang mengakar pada budaya lokal dan kekuatan sumber daya nasional secara detail dan komprehensif.

“Kegigihan dalam budaya Sisu, dapat dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan pangan lokal yang berkualitas dan konsisten untuk sekaligus mencetak generasi masa depan yang sehat dan cerdas serta mensejahterakan petani dan nelayan Indonesia sebagaimana mestinya dengan mengoptimalkan kekuatan domestik, agar kesuksesan hakiki bukan sekedar mimpi,” pungkas Dina yang juga alumni Doktoral Strategi Pertahanan Unhan RI. {politiknesia}

Share this content: