
Atalia Praratya Apresiasi Polisi Tangkap Pelaku Kekerasan Anak, Tegaskan Negara Harus Hadir
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Partai Golkar, Atalia Praratya, mengecam keras kasus kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran terhadap seorang anak perempuan berinisial AMK (9) di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (Jaksel).
Atalia berpandangan, kasus ini bukan sekadar tindak pidana kriminal biasa, melainkan kegagalan sistem perlindungan anak.
“Hati saya teriris mendengar kabar tentang ananda AMK yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan: mengalami malanutrisi serta bekas luka akibat kekerasan fisik dan psikis. Peristiwa ini bukan sekadar tindak kriminal biasa, tetapi cerminan dari kegagalan sistem perlindungan anak di sekitar kita,” ujar Atalia dalam keterangannya, Rabu (17/9/2025), dikutip dari Golkarpedia.
Atalia menegaskan, kasus ini harus menjadi momentum refleksi bersama bagi seluruh pihak. Dia menilai, orangtua dari AMK seharusnya memegang tanggung jawab moral dan hukum tertinggi untuk melindungi, merawat, dan memenuhi kebutuhan anak.
Atalia menyebut tindakan penelantaran disertai kekerasan yang dilakukan orangtua AMK merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat ditoleransi. Dia pun memuji polisi yang telah menangkap orangtua AMK, sehingga proses hukum berjalan secara adil, transparan, serta memberikan efek jera bagi pelaku.
“Kasus AMK bukan sekadar persoalan domestik satu keluarga, tetapi cermin dari persoalan sosial yang lebih luas. Ini adalah ujian bagi komitmen bangsa dalam menjamin hak-hak dasar anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan terlindungi dari kekerasan maupun diskriminasi, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” tuturnya.
Kemudian, Atalia mendorong penegakan hukum yang tegas dan maksimal sebagai sinyal bahwa negara hadir memberikan perlindungan serta keadilan bagi korban. Atalia juga menekankan pentingnya pemulihan menyeluruh bagi AMK.
“AMK harus mendapatkan pendampingan psikologis, rehabilitasi medis, serta pemulihan gizi yang intensif dan berkelanjutan. Negara harus menjamin masa depan yang lebih baik dan lingkungan yang aman bagi anak ini, pasca proses hukum berlangsung,” ucap Atalia.
“Kewaspadaan dan kepedulian lingkungan sekitar harus terus ditingkatkan untuk mencegah potensi kekerasan terhadap anak,” sambungnya.
Sementara itu, Atalia mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Sosial, dan pemerintah daerah untuk secara masif melakukan sosialisasi serta kampanye edukatif mengenai pengasuhan positif, serta pentingnya melapor ketika menemukan indikasi kekerasan atau penelantaran anak.
“Mari jadikan kasus pilu AMK sebagai pembuka mata kita semua. Lindungi anak-anak kita, karena mereka adalah masa depan bangsa. Setiap anak berhak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih sayang. Kami di Komisi VIII DPR RI siap mengawal dan memperkuat regulasi serta alokasi anggaran untuk memastikan perlindungan anak Indonesia berjalan optimal,” imbuh Atalia.
Direktorat Tindak Pidana Pelindungan Perempuan dan Anak serta Pemberantasan Perdagangan Orang (Dittipid PPA & PPO) Bareskrim Polri menangkap EF alias YA (40) dan SNK (42), pasangan yang menelantarkan dan melakukan kekerasan berat terhadap AMK, anak perempuan berusia 9 tahun. SNK merupakan ibu kandung dari AMK, sedangkan YA adalah ayah tiri.
Direktur Dittipid PPA & PPO Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nurul Azizah, mengatakan kedua pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
“Kami sangat prihatin atas penderitaan yang dialami korban. Ini adalah bentuk kekerasan yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Polri akan memproses kasus ini secara tegas tanpa kompromi terhadap para pelaku,” kata Nurul dalam keterangan tertulis, Rabu (10/9/2025).
Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan pada Rabu (11/6/2025) di depan kios Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dalam pemeriksaan yang didampingi pekerja sosial, korban mengaku kerap disiksa oleh EF alias YA (40) yang dipanggilnya “Ayah Juna”.
Salah satunya adalah dipukul hingga patah tulang. Korban juga menyebut ibu kandungnya, SNK (42), mengetahui penyiksaan tersebut dan bahkan setuju meninggalkannya di Jakarta. Saat ditemukan, korban terbaring lemah di atas kardus dengan tubuh penuh luka, memar, tanda malanutrisi, hingga luka bakar di wajah. {}