
Keracunan Massal Jadi Alarm, Henry Indraguna Desak Reformasi Tata Kelola MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah di awal pemerintahan baru sejatinya dirancang sebagai salah satu kebijakan strategis untuk memperkuat sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045. Tujuan besarnya jelas yakni untuk meningkatkan gizi anak sekolah, mengurangi angka stunting, sekaligus meringankan beban keluarga. Namun, implementasi awal justru diwarnai masalah serius yang berpotensi mencoreng wajah program ini.
Sejak dimulai, lebih dari 5.600 kasus keracunan massal tercatat di berbagai daerah. Laporan dari lapangan menunjukkan makanan yang disajikan ada yang basi, berbelatung, bahkan bercampur kecoa. Tak hanya itu, porsi yang terlalu kecil membuat manfaat program ini dipertanyakan kandungan gizinya. Rantai distribusi yang panjang dan tidak terkelola dengan baik juga menyebabkan makanan rusak sebelum sampai ke tangan siswa.
Di balik masalah teknis, terdapat persoalan tata kelola yang lebih mendasar. Regulasi yang belum siap, lemahnya pengawasan, hingga krisis transparansi membuat kepercayaan publik kian merosot. Bahkan, di beberapa daerah muncul nota larangan bagi sekolah atau orang tua untuk menyebarkan informasi keracunan, yang pada akhirnya menimbulkan kesan pemerintah menutup-nutupi masalah.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, Prof. Dr. Henry Indraguna, S.H., M.H., C.R.A., menilai bahwa semua persoalan tersebut harus menjadi momentum koreksi serius program MBG. “Kita tidak bisa menutup mata. Ribuan anak sudah jadi korban. Ini bukan lagi sekadar kelemahan teknis, melainkan cermin lemahnya tata kelola program,” ujarnya.
Meski demikian, Wakil Ketua Umum Bapera ini menegaskan program MBG tidak boleh dihentikan total. Menurutnya, kebijakan ini tetap sangat penting untuk masa depan bangsa, tetapi perlu penyelamatan segera dengan reformasi tata kelola. Ia mengajukan enam langkah strategis sebagai solusi.
6 Langkah Penyelesaian Sengkarut Program MBG
Langkah pertama adalah moratorium parsial di daerah yang paling bermasalah. Moratorium ini bukan penghentian permanen, melainkan jeda yang digunakan untuk melakukan audit independen secara menyeluruh. Henry mengusulkan pembentukan tim evaluasi nasional yang melibatkan ahli gizi, BPOM, hingga perguruan tinggi. “Koreksi cepat dan berbasis data mutlak diperlukan agar program ini kembali ke jalurnya,” tegas Henry yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI.
Langkah kedua adalah penerbitan regulasi nasional yang jelas. Hingga kini, belum ada Peraturan Presiden yang menjadi payung hukum khusus MBG. Henry menekankan perlunya aturan tegas yang disertai kewajiban sertifikasi keamanan pangan seperti HACCP dan GMP.
Setiap penyedia makanan harus tunduk pada standar ini, dan yang terbukti lalai harus dikenai sanksi tegas, termasuk masuk daftar hitam. “Keamanan pangan anak bangsa tidak boleh dikompromikan,” kata Guru Besar Universitas Sultan Agung Semarang ini.
Langkah ketiga adalah memperkuat transparansi publik. Henry mengusulkan pembangunan dashboard online nasional yang bisa diakses masyarakat, menampilkan menu makanan, daftar penyedia, hingga hasil audit di tiap daerah. Selain itu, sekolah dan orang tua harus diberi ruang melaporkan kondisi makanan secara real-time.
“Praktik intimidasi terhadap guru atau orang tua yang melaporkan keracunan harus dihentikan. Justru laporan dari masyarakat adalah instrumen pengawasan paling efektif,” ujar Henry yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia.
Langkah keempat adalah menerapkan pendekatan bertahap. Alih-alih dipaksakan secara serentak di seluruh Indonesia, program sebaiknya dimulai dari daerah dengan tingkat gizi buruk paling tinggi sebagai pilot project. Setelah melalui evaluasi, cakupan bisa diperluas secara bertahap. Dengan cara ini, kualitas dapat dijaga dan kesalahan tidak berulang.
Langkah kelima adalah memperkuat kapasitas lokal. Henry menilai MBG justru bisa menjadi motor penggerak ekonomi rakyat bila melibatkan koperasi sekolah, UMKM, hingga warung lokal sebagai penyedia makanan.
Pembangunan dapur sekolah atau dapur komunitas juga akan meningkatkan kontrol mutu sekaligus membuka lapangan kerja baru. “Dengan model berbasis komunitas, kita memberi makan anak sekaligus memberdayakan ekonomi lokal. Ini multiplier effect yang nyata,” jelasnya.
Langkah keenam adalah menyiapkan manajemen risiko dan sistem tanggap darurat. Protokol darurat di sekolah harus ada untuk menghadapi kemungkinan keracunan, termasuk dana kompensasi atau asuransi bagi korban. Pemerintah juga perlu mewajibkan simulasi tanggap darurat secara rutin agar sekolah siap menghadapi situasi kritis.
Melalui enam langkah itu, Henry menekankan bahwa MBG masih bisa diselamatkan. Dalam analisis SWOT yang ia susun, program ini memiliki kekuatan berupa dukungan politik dan anggaran besar, tetapi kelemahannya sangat krusial. Bila tidak dibenahi, ancaman krisis kepercayaan publik, pemborosan fiskal, hingga risiko korupsi bisa meruntuhkan legitimasi pemerintah.
Namun, bila perbaikan dilakukan, MBG dapat menjadi momentum besar untuk memperkuat kualitas SDM nasional, mendorong inovasi pangan sehat, serta membangun sinergi lintas sektor. “Kalau sukses, MBG bisa menjadi warisan positif pemerintah. Tapi kalau gagal, ia hanya akan jadi bumerang yang merusak kepercayaan rakyat,” tuntas Henry. {radaraktual}