Henry Indraguna Nilai Kasus BBM Swasta Bisa Jadi Tonggak Reformasi Tata Energi

Henry Indraguna Nilai Kasus BBM Swasta Bisa Jadi Tonggak Reformasi Tata Energi

Setiap akhir pekan, Tati Suryati seharusnya menikmati waktu bersama keluarga. Namun dalam beberapa bulan terakhir, warga Tangerang Selatan itu justru harus berkeliling kota hanya untuk mencari bahan bakar mobilnya. Bukan karena hobi otomotif, melainkan karena kelangkaan bahan bakar beroktan tinggi yang biasa ia gunakan: V-Power Nitro+ RON 98.

“Saya bisa berputar sampai tiga SPBU swasta, tapi tetap kosong,” keluh Tati saat ditemui usai menghadiri sidang perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahan bakar beroktan tinggi itu memang bukan jenis BBM bersubsidi, tetapi ia merasa sebagai konsumen berhak mendapatkan produk sesuai standar mesin kendaraannya.

Persoalan ini ternyata tidak berdiri sendiri. Dari hasil penelusuran, Tati mengetahui bahwa kelangkaan tersebut berawal dari kebijakan baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait tata kelola distribusi BBM di SPBU swasta.

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), menetapkan dua arah kebijakan utama yang menjadi pedoman bagi badan usaha non-Pertamina dalam memperoleh pasokan BBM.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menjelaskan bahwa hingga akhir tahun ini, badan usaha swasta penyedia BBM masih didorong untuk memenuhi sebagian kebutuhan pasokannya melalui pembelian dari Pertamina. Sedangkan untuk tahun depan, kuota pasokan bagi SPBU swasta masih akan dievaluasi terlebih dahulu.

“Jadi, sebenarnya garis besarnya itu ada dua. Yang pertama sesuai dengan arahan Menteri ESDM dan RDP DPR, kita untuk tahun 2025 tetap melanjutkan kolaborasi antara swasta dan Pertamina. Untuk tahun 2026, kami akan menghitung kembali pengaturannya seperti apa,” kata Laode di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Jakarta, Selasa (7/9/2025).

Kebijakan tersebut dimaksudkan agar pasokan BBM nasional lebih stabil dan terkoordinasi, terutama di tengah fluktuasi harga minyak dunia serta transisi menuju energi rendah emisi. Namun di lapangan, efeknya justru menimbulkan gejolak baru.

See also  Henry Indraguna Dorong Reformasi Polri Berbasis Pendidikan Humanis dan HAM

Laode menyebut beberapa perusahaan seperti AKR, BP-AKR, dan VIVO telah melanjutkan negosiasi kerja sama dengan Pertamina. Sedangkan Shell disebut belum melanjutkan skema kolaborasi tersebut. “Mereka (Shell) membutuhkan konsiderans yang berbeda dengan yang lain, tapi tetap Pertamina masih mempertimbangkan,” ujarnya.

Kebuntuan ini berdampak langsung pada ketersediaan stok BBM beroktan tinggi di berbagai SPBU swasta. Shell, BP, dan VIVO sempat menolak membeli base fuel Pertamina yang mengandung 3,5 persen etanol karena dianggap tidak sesuai standar teknis dan spesifikasi mutu yang diatur dalam perjanjian investasi sektor hilir. Akibatnya, stok menipis dan konsumen kehilangan alternatif pasokan di luar jaringan Pertamina.

Gugatan Perdata yang Menggema

Tak tinggal diam, Tati Suryati memutuskan untuk membawa persoalan ini ke meja hijau. Ia menggugat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan turut menggugat PT Pertamina dan PT Shell Indonesia. Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.

“Ini bukan hanya soal Rp500 juta ganti rugi atas biaya tambahan dan stres harian karena saya tidak mendapatkan BBM sesuai standar mobil saya,” kata Tati.

Baginya, gugatan ini bukan sekadar soal nominal, melainkan bentuk perlawanan atas pelanggaran hak konsumen yang dijamin oleh undang-undang.

Dalam gugatannya, Tati menyebut pemerintah telah lalai menjaga ketersediaan produk yang dijanjikan kepada publik. Ia menilai pembatasan kuota dan kebijakan monopoli pasokan membuat pasar BBM kehilangan keseimbangan.

“Yang saya gugat itu soal tanggung jawab. Karena ini soal pelayanan publik yang berdampak pada banyak orang. Kalau pasokan normal, saya akan cabut gugatan,” ujarnya.

Sidang perdana digelar pada 8 Oktober 2025, dipimpin Majelis Hakim Ni Kadek Susantiani. Namun, sidang ditunda hingga 15 Oktober lantaran dokumen gugatan dinilai belum lengkap dan perwakilan Shell tidak hadir. Meski begitu, tim hukum dari Kementerian ESDM hadir untuk mengikuti jalannya persidangan.

See also  Partai Golkar Gelar Lomba Film Pendek 'Indonesia Harmoni dalam Kemajemukan', Ayo Daftar!

“Kami hormati proses hukum sepenuhnya. Komitmen kami adalah mempercepat normalisasi distribusi agar tak ada lagi warga yang kecewa,” kata tim Kementerian ESDM usai sidang.

Pihak kementerian juga menjanjikan bahwa pasokan BBM akan kembali stabil pada akhir Oktober melalui penyesuaian kualitas base fuel. Namun hingga kini, sebagian SPBU swasta masih melaporkan keterlambatan suplai dari terminal distribusi.

Pandangan Pakar: Dari Gugatan Pribadi Menjadi Momentum Reformasi Energi

Kasus yang diajukan Tati ternyata menarik perhatian publik dan kalangan akademisi hukum. Salah satu yang memberi pandangan adalah pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, SH., MH., yang menilai langkah hukum tersebut justru memperkuat prinsip akuntabilitas dalam sistem demokrasi.

“Hebatnya sikap Menteri Bahlil yang menghormati peradilan patut diapresiasi sebagai langkah matang demokrasi. Pak Bahlil sebagai warga negara yang taat hukum mempersilakan individu untuk melakukan protes, kritikan, bahkan gugatan sekalipun. Karena Republik adalah negara yang menjunjung supremasi hukum maka sebagai pejabat negara, beliau pun menghormati kebijakan yang diambil akan diuji dalam ranah hukum,” ujar Prof Henry melalui keterangan tertulis, Jumat (10/10/2025).

Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini menilai bahwa akar persoalan pasokan BBM swasta bukan semata urusan teknis, melainkan soal tata kelola sistem distribusi nasional yang belum sepenuhnya menyeimbangkan antara efisiensi negara dan hak konsumen.

Ia mengutip pandangan Aristoteles dalam politik bahwa keadilan bukan sekadar kesetaraan, melainkan pemberian kepada masing-masing sesuai haknya. Dalam konteks ini, kata Prof Henry, kebijakan negara perlu memberi ruang yang adil antara kepentingan bisnis energi dan hak masyarakat sebagai pengguna akhir.

“Menurut saya saat ini semua dalam masa pembenahan untuk menciptakan tata kelola BBM yang lebih pro-rakyat melalui kuota fleksibel, transparan dan mengedepankan transisi energi inklusif, serta terpenting bahwa negeri ini sudah saatnya fokus dan serius melakukan hilirisasi energi, termasuk BBM yang dikonsumsi masyarakat. Sehingga dari sini, negeri ini dapat menyudahi ketergantungan impor BBM yang sudah melalui refinery,” jelasnya.

See also  Achmad Annama: Partai Golkar Konsisten Dorong Pengelolaan Energi Nasional Berpijak Pasal 33 UUD 1945

Sebagai doktor ilmu hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan Universitas Borobudur, Prof Henry menilai langkah hukum ini bisa menjadi momentum pembenahan besar bagi tata kelola BBM di Indonesia.

“Kasus ini bisa jadi tonggak reformasi, di mana suara rakyat tak lagi bergema sia-sia, tapi menjadi nadi kebijakan. Menjadi bermakna sebuah kebijakan yang diambil oleh pengelola negara jika ada keberatan dan koreksi dari rakyatnya demi menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban,” pungkas Prof Henry, yang juga Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini.

Ujian bagi Tata Kelola Energi Nasional

Kasus Tati Suryati membuka babak baru dalam relasi antara kebijakan energi, tanggung jawab negara, dan hak warga negara. Gugatan ini bukan hanya persoalan kelangkaan bahan bakar, melainkan tentang bagaimana pemerintah menata ulang mekanisme pasar energi nasional yang lebih adil dan transparan.

Jika kelangkaan BBM beroktan tinggi menjadi awal dari sebuah gugatan, maka yang sedang diuji bukan hanya pasokan, tetapi juga legitimasi kebijakan energi nasional di tengah tuntutan efisiensi dan transisi menuju energi bersih.

Apakah kebijakan kuota BBM yang terpusat mampu menjawab kebutuhan pasar tanpa mengorbankan hak konsumen? Ataukah justru membuka ruang koreksi publik terhadap peran pemerintah dalam mengatur sektor strategis ini?

Di tengah sidang yang masih berjalan, pertanyaan itu menjadi refleksi bersama: bahwa di negeri demokrasi, kebijakan publik tak pernah final sebelum diuji oleh suara rakyatnya. {golkarpedia}

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )