Idrus Marham: NU Harus Tetap Jadi Rumah Besar Umat Islam, Bukan Panggung Manuver Kekuasaan

Idrus Marham: NU Harus Tetap Jadi Rumah Besar Umat Islam, Bukan Panggung Manuver Kekuasaan

Anggota MPO PB IKA PMII, Idrus Marham, menegaskan pentingnya bagi PBNU menjaga marwah organisasi dengan memegang erat prinsip nilai dasar musyawarah, transparansi, dan kepentingan umat. Idrus menyoroti memanasnya dinamika internal yang terjadi belakangan ini, tidak boleh berubah menjadi arena perebutan pengaruh segelintir elite.

Idrus menilai situasi yang muncul belakangan ini adalah alarm serius bahwa NU semakin menjauh dari prinsip “kepemilikan bersama” yang selama ini menjadi identitas jam’iyah. “NU ini milik rakyat, milik warga Nahdliyyin, bukan milik satu kelompok kecil,” kata Idrus, kamis (27/11/2025).

Menurutnya, gejolak internal bukan semata soal figur, melainkan pertanda bahwa orientasi perjuangan mulai bergeser dari nilai-nilai kebersamaan yang menjadi dasar berdirinya NU. Ia mengingatkan bahwa sejarah NU lahir dari kekuatan pesantren, akar rumput, dan kolektivitas umat, bukan dari politik elite yang mengkavling organisasi untuk kepentingan sesaat.

Ia juga membeberkan bahwa nama-nama besar pendiri NU telah memberikan teladan tentang pengabdian penuh kepada umat dan bangsa. Sehingga sangat kontra-produktif jika teladan para pendiri NU dimaknai secara dekonstruktif terhadap kondisi kelembagaan hari ini.

Idrus menyebut deretan tokoh yang hingga kini dikenang sebagai figur pendiri yang bekerja dengan ketulusan, seperti K.H. Hasyim Asyari Tebuireng, K.H. Bisri Denanyar Jombang, K.H. Ridwan Semarang, K.H. Nawawi Pasuruan, K.H.R. Asnawi Kudus, K.H.R. Hambali Kudus, K.H. Nachrawi Malang, hingga K.H. Doro Muntaha.

Sebagai warga NU, Idrus juga mengingatkan susunan kepengurusan PBNU generasi pertama tahun 1926 yang ditempati tokoh-tokoh nasional, mulai dari K.H. M. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar hingga K.H. Abdul Wahab Chasbullah dan K.H. Abdul Chalim sebagai jajaran katib. “Semua ini diceritakan sekadar untuk mengentalkan ingatan historis kita bersama,” ujarnya.

See also  Pagelaran Wayang Kulit Meriahkan Rangkaian HUT ke-61 Partai Golkar, Bahlil Lahadalia: Budaya adalah Pengikat Persatuan

Baginya, warisan historis tersebut bukan hanya catatan masa lalu, melainkan standar etis yang seharusnya menjadi rujukan ketika terjadi dinamika internal hari ini. Ia menyebut bahwa “mendegradasi nilai-nilai keumatan dan kebangsaan yang menjadi ruh perjuangan as-sābiqūnal awwalūn dapat dikategorikan sebagai ‘dosa besar’.”

Idrus mengakui bahwa perbedaan pandangan adalah hal wajar dalam organisasi sebesar PBNU. Namun ia memberi penegasan bahwa persoalan menjadi berbeda apabila yang muncul adalah perbedaan kepentingan. Menurutnya, “NU bukanlah tempat yang boleh dikelola demi tarik-menarik kepentingan.”

Ia menekankan landasan orientasi perjuangan NU yang tidak pernah berubah sejak awal berdiri. “Sekali lagi, sejak berdiri hingga hari ini, kepentingan NU hanya berpijak pada dua fondasi utama: umat dan bangsa. Di luar itu, semuanya hanyalah ‘percikan’ yang tidak boleh menggeser orientasi perjuangan NU,” ungkap Idrus yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Idrus menyayangkan jika ruang gerak organisasi justru dimasuki kepentingan lain yang dapat merusak reputasi jam’iyah sekaligus kepercayaan umat. “Menyedihkan jika NU digeser oleh kadernya sendiri, dijadikan hanya sekadar ruang berlindung dan perebutan pengaruh. Khittah NU bukan di situ!” tegas Idrus.

Ia turut menegaskan agar NU harus kembali pada khittah: menjaga tradisi, meneguhkan akhlak, serta menjadi penuntun moral bagi kehidupan kebangsaan. Ia memperingatkan bahwa retaknya fondasi moral akibat kepentingan pribadi sama saja dengan menyalahi amanah para muassis.

Atas dasar itu, Idrus menyarankan penyelesaian internal PBNU dilakukan secara kekeluargaan, melibatkan para kiai sepuh dan tokoh moral demi menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan. Ia menilai krisis hari ini merupakan momentum bagi NU untuk memperkuat jati diri sebagai organisasi sosial-keagamaan yang teguh pada nilai moral.

See also  Idrus Marham: Sensitivitas Pemimpin Tumbuh Dari Pengalaman dan Pergulatan, Bukan Dari Pencitraan!

Ia mengingatkan bahwa konflik tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. “Tidak cukup hanya klarifikasi internal, tetapi perlu ada langkah nyata menuju rekonsiliasi dan transparansi agar NU tetap berfungsi sebagai rumah besar umat, bukan panggung manuver kekuasaan,” pungkasnya. (Radaraktual)

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )