Momentum Kebangkitan Politik Kaum Perempuan

Momentum Kebangkitan Politik Kaum Perempuan

Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sebuah tonggak sejarah yang menandai lahirnya semangat persatuan bangsa Indonesia melalui berdirinya Budi Utomo pada 1908. Namun dalam refleksi kontemporer, Hari Kebangkitan Nasional seharusnya tidak hanya dilihat sebagai kebangkitan politik kaum pria, tetapi juga sebagai momentum untuk mendorong kebangkitan perempuan Indonesia – terutama di panggung politik nasional.

Selama puluhan tahun, perempuan Indonesia telah memainkan peran besar dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya bangsa. Namun dalam ranah politik, keterlibatan perempuan masih menghadapi berbagai tantangan struktural.

Pada peringatan Kebangkitan Nasional tahun 2025 ini, sudah saatnya kita memandang kebangkitan bangsa juga sebagai kebangkitan perempuan dalam demokrasi, representasi, dan pengambilan kebijakan publik.
Dari Emansipasi Menuju Representasi Politik yang Setara

Lebih dari satu abad setelah R.A. Kartini menyuarakan pemikiran radikal tentang pendidikan dan kemerdekaan perempuan, data kuantitatif menunjukkan bahwa perjuangan untuk kesetaraan belum selesai.

Dalam Pemilu 2024, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya mencapai 21,9%, meningkat tipis dari 20,5% pada Pemilu 2019. Angka ini masih jauh dari target afirmatif 30% sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Yang lebih mencolok adalah kesenjangan antara jumlah pemilih perempuan dan representasi mereka di lembaga legislatif. Data KPU menunjukkan bahwa pemilih perempuan justru mendominasi di berbagai provinsi kunci: di Jawa Tengah, 50,6% dari total DPT adalah perempuan; Jawa Timur 50,4%; dan Banten 50,2%.

Namun, di ketiga provinsi ini, keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi masing-masing hanya 17,6%, 19,2%, dan 18,3%. Dengan kata lain, perempuan adalah mayoritas dalam suara, tetapi minoritas dalam keputusan.

Ketimpangan ini tidak hanya persoalan statistik, melainkan masalah keadilan politik. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan seharusnya mencerminkan keragaman pemilihnya. Maka dari itu, kebangkitan nasional yang sejati adalah ketika perempuan tidak hanya memilih, tetapi juga dipilih, tidak hanya mendukung, tetapi juga menentukan arah partai dan negara.

Dari Demokrasi Procedural ke Demokrasi Substantif

Dalam konteks demokrasi modern, perdebatan mengenai keterwakilan perempuan bukan sekadar soal jumlah, melainkan soal kualitas demokrasi itu sendiri. Ilmuwan politik asal Amerika, Anne Phillips, dalam bukunya The Politics of Presence (1995), menegaskan bahwa representasi politik tidak bisa hanya mengandalkan prinsip universalitas netral gender.

Dalam realitas politik yang penuh bias struktural, kehadiran perempuan dalam lembaga legislatif merupakan kebutuhan untuk memastikan bahwa perspektif, pengalaman, dan kepentingan perempuan tidak tersubordinasi oleh dominasi maskulin.

See also  Ketum PP KPPG, Hetifah Dukung dan Kawal Komitmen Presiden Prabowo Segera Bahas RUU PRRT

Lebih jauh, Phillips membedakan antara descriptive representation (representasi deskriptif) dan substantive representation (representasi substantif). Representasi deskriptif mengacu pada kehadiran perempuan secara numerik dalam jabatan publik, sedangkan representasi substantif menekankan apakah mereka benar-benar memperjuangkan kepentingan perempuan.

Di Indonesia, tantangan kita saat ini berada di dua sisi sekaligus: jumlah perempuan dalam parlemen masih belum ideal (descriptive gap), dan peran advokatif mereka terhadap isu-isu perempuan sering kali tumpul karena tekanan partai, budaya politik patriarkis, serta ketergantungan pada elite.

Menurut Global Gender Gap Report 2023 yang dirilis World Economic Forum, Indonesia menempati peringkat ke-87 dari 146 negara dalam hal partisipasi politik perempuan. Meskipun Indonesia memiliki sejarah dengan presiden perempuan pertama di Asia Tenggara (Megawati Soekarnoputri), representasi perempuan dalam posisi pengambil kebijakan kunci masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Rwanda (61,3% anggota parlemen perempuan), Meksiko (50%), bahkan Timor Leste (38%).

Afirmasi: Dari Kuota ke Kualitas Kaderisasi

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengatasi ketimpangan ini adalah melalui kebijakan afirmatif. UU Pemilu mengharuskan setiap partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar calon legislatif di setiap daerah pemilihan.

Namun implementasinya sering kali bersifat simbolik. Banyak partai hanya mencalonkan perempuan sebagai pelengkap agar lolos verifikasi, tanpa ada upaya serius dalam membina, melatih, dan mengangkat mereka dalam posisi strategis partai.

Fenomena ini disebut oleh Drude Dahlerup, seorang profesor ilmu politik dari Universitas Stockholm, sebagai “fast track vs. incremental track” dalam keterwakilan perempuan.

Indonesia saat ini masih berada di jalur “fast track” yang sangat bergantung pada regulasi top-down, bukan transformasi struktural yang mendorong kesadaran dari bawah (bottom-up awareness). Tanpa perombakan paradigma di internal partai politik, kuota hanya menjadi jembatan rapuh yang bisa runtuh saat sistem mengalami guncangan politik.

Oleh karena itu, langkah KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar) yang menargetkan pembinaan 2.029 kader perempuan untuk Pemilu 2029 patut diapresiasi sebagai terobosan visioner. Tidak hanya menargetkan angka, tetapi juga membangun ekosistem politik yang sehat bagi kader perempuan: melalui pelatihan digital, penguatan literasi politik, dan jejaring lintas sektor.

Ini sejalan dengan riset Pippa Norris dan Mona Lena Krook yang menunjukkan bahwa candidate supply (ketersediaan kandidat perempuan berkualitas) adalah faktor krusial untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan secara berkelanjutan.

See also  Ketum PP KPPG, Hetifah Dukung dan Kawal Komitmen Presiden Prabowo Segera Bahas RUU PRRT

Ruang Transformasi Sosial

Politik perempuan bukanlah politik sektoral. Studi global menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam pengambilan keputusan berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat. UN Women (2022) melaporkan bahwa parlemen yang memiliki lebih dari 30% anggota perempuan cenderung menghasilkan kebijakan yang lebih kuat dalam bidang pendidikan, perlindungan anak, lingkungan, dan pengentasan kemiskinan.

Di India, eksperimen dengan reserved seats untuk perempuan di tingkat desa (Panchayat) menunjukkan bahwa kepala desa perempuan cenderung mengalokasikan lebih banyak dana untuk air bersih dan infrastruktur kesehatan.
Di Rwanda, legislator perempuan mendorong pengesahan undang-undang progresif tentang kekerasan dalam rumah tangga dan akses perempuan terhadap kepemilikan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa representasi bukan hanya soal keterwakilan simbolik, tetapi menyentuh jantung kualitas kebijakan publik.

Indonesia, sebenarnya juga memiliki potensi besar. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa 54% dari pelaku UMKM adalah perempuan. Namun sayangnya, kontribusi besar ini tidak diiringi dengan partisipasi politik yang sebanding. Padahal, perempuan pelaku usaha ini memiliki pengetahuan langsung mengenai kebutuhan komunitas akar rumput, sehingga bisa menjadi suara yang otentik dalam proses legislasi dan penganggaran publik.

RUU PPRT: Kasus Ujian Keberpihakan

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menjadi salah satu indikator nyata bagaimana politik perempuan diuji dalam praksis legislasi. Dengan lebih dari 4,2 juta pekerja rumah tangga – 80% di antaranya perempuan – Indonesia selama puluhan tahun belum memiliki undang-undang yang secara eksplisit melindungi hak mereka. Padahal, pekerja rumah tangga menopang struktur ekonomi rumah tangga perkotaan dan menjadi bagian dari care economy yang vital, sebagaimana dibahas oleh ekonom feminis Nancy Folbre.

RUU PPRT yang saat ini tengah masuk dalam Prolegnas dan didukung oleh banyak organisasi masyarakat sipil menjadi simbol kebangkitan politik perempuan yang sejati. Jika legislator perempuan dan partai-partai politik mampu mendorong pengesahan UU ini, maka akan tercipta precedent bahwa politik perempuan bukan hanya tentang identitas gender, tapi tentang etika keberpihakan kepada yang rentan dan tak terdengar.

Menuju 2029: Menata Ulang Struktur Politik

Menuju Pemilu 2029, agenda politik perempuan Indonesia pasca-2024 perlu diarahkan untuk menata ulang struktur politik secara lebih inklusif dan berkelanjutan. Hal ini memerlukan langkah strategis yang melampaui pendekatan simbolik dan seremonial, menuju pembaruan sistemik yang berpihak pada kesetaraan.

See also  Ketum PP KPPG, Hetifah Dukung dan Kawal Komitmen Presiden Prabowo Segera Bahas RUU PRRT

Pertama, reformasi internal partai menjadi kunci utama. Partai politik harus menjadikan kaderisasi perempuan sebagai kebijakan strategis, bukan sekadar alat pemenuhan kuota. Ini mencakup pelatihan kepemimpinan yang berkesinambungan, program mentoring lintas generasi, serta alokasi sumber daya kampanye yang setara bagi kandidat perempuan.

Kedua, perlu didorong kolaborasi lintas isu dan sektor. Perempuan tidak boleh hanya dikaitkan dengan isu-isu yang dianggap “feminis” seperti pendidikan atau kesehatan, tetapi harus tampil sebagai pengambil keputusan dalam bidang strategis seperti ekonomi, pertahanan, energi, dan diplomasi. Kolaborasi dengan akademisi, sektor swasta, serta organisasi masyarakat sipil akan memperluas spektrum pengaruh dan kapasitas politik perempuan di ruang publik.

Ketiga, pendidikan politik sejak dini harus menjadi fondasi penting. Pengarusutamaan nilai kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah serta program kepemudaan. Sebab, demokrasi yang matang tumbuh dari kesadaran sejak awal bahwa politik adalah ruang bagi semua warga negara, bukan hak istimewa satu jenis kelamin semata.

Dengan menata ulang struktur politik secara inklusif, Indonesia dapat melahirkan generasi pemimpin perempuan yang tidak hanya hadir, tetapi juga berpengaruh dan transformasional.

Kebangkitan Nasional adalah Kebangkitan Perempuan

Jika kita ingin merayakan Hari Kebangkitan Nasional sebagai peristiwa bersejarah yang relevan dengan tantangan zaman, maka kita harus memasukkan narasi kebangkitan perempuan ke dalam jantung kesadaran bangsa.
Kebangkitan nasional bukan sekadar mengenang tokoh pria dari masa lalu, tetapi juga merayakan langkah-langkah kecil para perempuan desa yang kini mulai berani menjadi kepala desa, anggota DPRD, dan bahkan calon gubernur.

Kebangkitan bangsa bukanlah milik satu gender. Ia hanya akan menjadi nyata ketika semua warganya – tanpa kecuali – memiliki ruang yang setara untuk berkontribusi, memimpin, dan menentukan arah masa depan. Dan seperti yang pernah disampaikan oleh Ban Ki-moon, Sekjen PBB periode 2007–2016:
“Gender equality is not only a goal in itself. It is a precondition for meeting the challenge of reducing poverty, promoting sustainable development, and building good governance.”

Sudah saatnya kita menjadikan politik sebagai ruang keadilan, bukan hanya arena kekuasaan. Dan dalam ruang keadilan itu, perempuan bukan hanya hadir, tetapi memimpin.

Penulis
Tati Noviati
Sekretaris Jenderal PP KPPG {golkarpedia}

TAGS
Share This